Rabu, 14 Agustus 2013

arum ndalu

"Dari bapakmu tadi?" Tanya suara ketus perempuan di telpon.

"Iya" Jawabku singkat

"Anak durhaka! tidak lagi kau ingat cara nya dulu meninggalkan kita? masih juga kau temui dia" .Murka 

"Dia bapakku juga kan?" tanya ku masih tenang

"Anggap saja bapakmu sudah mati" Perintah perempuan itu lagi

"Ibu.." Baru saja hendak ia sampaikan alasanku telpon sudah ditutup diseberang sana.

Rumpun arum ndalu di pojok halaman rumah eyang mulai mengeluarkan semerbak memabukkan, duduk terdiam diteras temaram dengan penerangan lampu yang kurang dari 10 watt sambil terus memegangi telepon genggamnya. Masih tidak mengerti kenapa hanya masalah sepele bisa membuat ibu nya marah besar.

"Ndalu, nduk...." Suara eyangnya dari dalam rumah memanggil

Perlahan bangkit, menutup pintu kupu tarung dari jati buatan tempo dulu. Masuk sebentar ke kamar eyangnya untuk merapikan amben dan kelambu sebelum mbak Tum membawa eyang dari ruang tengah.

"Aku yang bilang pada ibu mu kalau kau pergi menemui bapak mu" Kata eyang dalam papahan mbak Tum.

"Kenapa?" Tanyaku

"Supaya dia tau" Jawab eyang mulai rebahan.

"Dia tau pun percuma kan? Supaya dia bahagia musuhnya sakit?" tanyaku jahat.

"Percaya eyangmu ini, anakku itu lain di mulut lain di hati. Ibu mu tidak sejahat apa yang diucapkannya" senyum samar nya mengembang. 

Aku masih diam. duduk di pinggiran amben eyang.

"Tapi bukankah kita para perempuan semua begitu, apa yang ada dimulut berbeda dengan apa yang ada dihati?" Matanya memejam tanda minta jangan diganggu lagi.

"Sugeng ndalu eyang, sugeng sare." Katanya perlahan lalu mencium pipi kempot perempuan tua itu. Dibetulkannya lagi kelambu eyang sebelum keluar kamar.

"arum ndalu putuku...."