Minggu, 27 Maret 2016

kadung mendung

Awan kelabu berarak bergegas, tanda nanti akan ada hujan entah disini atau diseberang.

Ambennya mulai lembab, antara sisa trocoh air hujan, bekas muntahan atau sisa kotoran yang lain.

Hawa dingin begini selalu membuatnya sakit, bukan hanya merasa sakit tapi benar benar sakit. Ia tak bisa bangkit jauh dari ambennya meski hanya sekedar untuk buang air.

Sekejap bau pesing pun menguar di udara bercampur bau tanah lembab dan apak nya rumah.

Kembali menekuni tikar pandan di ambennya

Kalau hidup semudah anyaman sifatnya, kau tau kapan harus tertekuk, kapan lurus dan miring mungkin ia tak akan selalu masuk dalam masalah sampai begini.

Sesal kemudian tiada guna.

Dibenahi rambutnya yang hampir memutih semua, panjangnya sekarang telah melebihi lututnya sendiri.

Perlahan diraihnya gincu, merah. Serupa benar warna darah, sisa diujung ujung yang hampir tak terjangkau.

Suara gumaman pelan mulai terdengar, nyanyian yang mirip rintihan.

Hari ini pun ia berdandan, meski tau tak akan ada yang datang.


Laki Laki Ladang Bunga Matahari

Percayakah kau dulu aku pernah bilang, ia yang bersinar paling terang lah yang harus kau pilih, karena yang membuatmu tertarik adalah ia yang tepat mengisi hatimu.

Mata menuntun mengenalnya, tak lupa ia menggandeng hati untuk ikut serta.

Lalu entah sejak kapan, hanya ia yang mengisi bukan hanya hati, pikiran dan kehidupan.

Mungkin benar aku yang terlalu memaksa karena ini mau ku, sekali ini pun aku bertanggung jawab penuh atas apa yang kulakukan apapun hasilnya.

Aku yang memilih.