"Nang, ubanmu kok banyak betul nak" Tanganku menggapai rambutnya yang ikal, Tinggi benar anak ini sekarang. Lihat anakku Lanang duduk diam diam disamping tempat tidurku, pandangan cemasnya... Ahhh mirip sekali Bapaknya. Lupa aku sejak kapan Lanang terlihat tua begini. Anak sulungku sekarang terlihat seperti laki laki dewasa, mulai kapan tumbuh uban uban itu? mulai kapan tumbuh bulu bulu diwajahnya.
"Mana Lintang?" tanyaku padanya, adiknya Lintang tidak nampak kali ini biasanya ia akan nginthil kakaknya, pandangannya juga pasti akan cemas saat aku tergolek begini. Lintang yang gempal lucu. Teringat dulu sekali juga pernah dalam keadaan begini Lanang dan Lintang duduk berdampingan memperhatikanku dengan raut wajah cemas berlebih. Kapan ya itu? suasana seperti ini? Saat semua orang memandangi dengan wajah cemas begini.
"Sebentar lagi Lintang datang bu, macet jalanan" Jawabnya pelan.
"Bilang sama Kati, siapkan air mandi. Bapakmu sebentar lagi pulang" Hampir jam 5 sore sebentar lagi Bapaknya anak anak pasti pulang kerja. Gusti, jangan biarkan aku sakit. Kalau aku sakit siapa yang akan mengurus anak anak dan suamiku.
******* *******
Ibu belum juga ingat, suami yang amat dicintainya tidak akan lagi pulang ke rumah ini. Kapan? 20 tahun -an yang lalu, saat Ibu yang sedang hamil 3 bulan ngidam ingin melihat puncak. Honda Life yang dikendarai Bapak yang dalam keadaan lelah menabrak pohon dipinggir jalan. Bapak dan bakal adik kami pun meninggal.
Ibu? tanpa luka hanya cacat di ingatannya yang tidak pernah sembuh. Ibuku selalu merasa Bapak masih ada. Mungkin benar Bapak tidak pernah benar benar meninggalkan kami.
Ibu, setiap harinya masih menyiapkan kopi untuk Bapak di meja makan, masih mengatur 2 alat makan untuk makan malam berdua. Selalu mengingatkan mbak Kati memasak air mandi Bapak. Semua baju Bapak pun masih tersimpan rapi di lemari.
Seperti apa hancurnya hati Ibu kalau sampai mengingat bahwa orang yang ia cintai sudah tidak ada lagi? Aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak sampai hati.
"Bagaimana Ibu Kang?" Tanya Lintang begitu masuk rumah.
"Semakin lemah Tang, dokter bilang mungkin tidak lama lagi" Jawabku lemah, membayangkan menjadi Yatim Piatu sungguh berat rasanya.
"Dulu dokter juga bilang begitu kan, saat ibu kecelakaan. Nyatanya Ibu masih kuat" Lintang bersikeras.
"Hanya Tuhan yang tau Tang, sana tengok Ibu dulu" perintahku.
Lintang pun berlalu, aku hanya mampu tersenyum pada anak anak dan istri Lintang. Pasti berat untuk keluarga Lintang, untuk anak anak dan istriku pun begitu. Berat karena Ibu tidak mengenal mereka. Ibu hanya mengenal Aku, Lintang dan mbak Kati selebihnya seolah mereka tidak perlu ada. Meski aku dan Lintang tak henti henti mengenalkan istri istri dan anak anak kami ibu tidak pernah merespon.
"Kang Ibu mau ketemu kamu" Bisik Lintang yang masih menggendong anak bungsunya yang baru berumur 3 tahun
Tanganku digeggamnya, jemari tua nya lemah sekali. Tak henti hentinya tersenyum sambil sesekali tangan yang satunya meraba penuh sayang pipi Lintang.
"Lanang, Lintang... lihat Bapak sudah pulang" bisiknya pelan, senyumnya mengembang lalu matanya tepejam dan tak pernah lagi terbuka. Aku dan Lintang hanya terdiam menahan tangis. Satu satunya orang tua kami akhirnya pergi.
Note : Another Illusion