"Mak, boleh nanti main hujan kalau hujan sudah turun?" Tanya si kecil berambut bros yang rupanya sudah bertelanjang dada siap madi air hujan.
"Hmmm" Jawabnya tanpa semangat.
Masih terbayang ketika suaminya tadi berangkat ke ladang, setelah bangun dan menghabiskan kopi hanya sempat mengangguk sambil membawa pacul. Tanda ia pamitan. Seperti hari hari biasanya.
Tapi wajah nya berubah aneh, gerakannya kikuk setiap kali melihat anak perawan pak Wir depan rumah. Sudah hampir dua minggu seperti ini
Biasanya ia tak ambil pusing, mau laki nya jungkir balik asal ia selalu pulang kerumah maka semua baik baik saja.
Masih duduk di meja makan, sambil memegangi cangkir kopi bekas suaminya tadi. Pikirannya kemana mana.
Percaya pada suami mu nduk, perintah dalam hatinya dalam suara emaknya. Aku percaya suamiku, tapi aku tak percaya anak perempuan pak Wir yang tukang goda laki orang itu balasnya, seolah bicara pada emak yang sudah almarhumah 4 tahun silam.
Kalau kau percaya suami mu bukan laki laki yang doyan main perempuan, itu ndak akan terjadi. Gendhakan itu terjadi karena dua dua nya ingin bukan hanya sepihak. Suara emaknya mengeras
Tekadnya sudah bulat, ia akan menyusul laki nya ke ladang. Menanyakan ada apa antara lakinya dengan anak gadis pak Wir.
Ia memacu langkahnya, semakin cepat... semakin dekat hatinya semakin tidak karuan. Bagaimana jika benar? bagaimana jika bapaknya tole memang ada main sama perawan semok itu? Ia harus bagaimana?
Batharagana semakin melebar..... hujan pun turun
Note : Batharagana = mega mendung
Hidup itu pilihan. Apa yang bagus dimata kita belum tentu bagus untuk orang lain. Wang sinawag kalau simbah bilang
BalasHapusbetuuuul hehehe
Hapus