"Ibu macam apa kau Min? sampai tega meninggalkan anak mu sendiri. Kenapa kau baru cerita padaku sekarang kalau kau sudah punya anak, sungguh Min aku seperti tidak mengenalmu" Bergetar suaranya saat mengucapkan kata kata itu. Kemarahannya padaku luar biasa.
"Apa kau masih mau mengawiniku dulu kalau aku bilang sudah beranak tanpa pernah dikawin?" Tanyaku, ia hanya terdiam.
Itu reaksinya 5 tahun yang lalu saat kuceritakan tentang putriku Janur yang kutinggal didesa. Lalu kami tidak pernah membicarakannya lagi. Tapi ia, semakin menjauh dari ku... Suami yang memberiku seorang anak itu semakin dingin.
Janur anakku, seperti apa dia sekarang? beberapa minggu yang lalu aku bertemu Sum, teman sepermainan Janur waktu masih kecil, Sum bekerja di rumah tetanggaku. Sudah sebesar itukah Janur? sebesar Sum?
Janur, wajah kecilnya yang selalu ingin tau selalu ada dalam bayanganku. Kulitnya kuning seperti bagian lain darah yang mengalirinya, bapaknya.
Seperti apa bapaknya Janur? Lupa seperti apa wajah laki laki yang sudah mengambil kegadisanku itu, yang tinggal hanya sakit hati dan luka. Dulu aku dititipkan bapakku di kota kabupaten tidak jauh dari desaku, untuk mengabdi sambil terus bersekolah pada keluarga priyayi yang masih ada hubungan kekerabatan.
Bapaknya Janur anak priyayi tersebut. Masih teringat jelas bagaimana murkanya keluarga itu saat mengetahui aku hamil. Kata kata kasar dan memojokkan seolah olah aku si perempuan genit yang sengaja hamil supaya bisa naik derajat.
Padahal sama sekali tak terpikir kesitu, ingin pun tidak untuk berhubungan dengan ndoro priyayi. Aku dipaksa. Bisa bilang begitu? meski setelah berkali kali ia menyambangi kamarku, mencegatku pulang sekolah atau ketika aku mencuci dikamar mandi? Tidak pernah terpikirkan kata cinta. Aku hanya mengira inilah yang semestinya terjadi pada abdi.
Lebih menyakitkan adalah ketika ia tidak membelaku didepan keluraganya, ia hanya diam. Pun ketika aku malam itu juga aku diusir dari rumah. Belum ada kendaraan dari kota kerumahku waktu itu. Aku harus jalan kaki puluhan kilometer untuk sampai rumah simbokku.
Sampai dirumah, dihajar bapak dan dimarahi habis habisan oleh simbok tapi aku tetap diam. Mereka toh tidak akan percaya siapa bapaknya Janur. Kalaupun mereka nantinya menuntut pertanggung jawaban pasti hanya akan diolok olok keluarga itu.
Kesempatan pergi ke Kota Besar datang saat Janur baru berusia 4 tahun, tanpa pikir panjang aku bergegas berangkat. Lagi lagi kerja mengabdi kujalani sampai bertahun tahun kemudian bertemu dengan Mas Gun suamiku sekarang.
Ia laki laki alim yang jadi sahabat keluarga majikan baruku. Ketika diminta nikah, aku langsung mengiyakan dengan harapan suatu saat bisa mengambil Janur, bisa membahagiakannya, memberikan ayah yang selama ini ia tidak punya. Tapi tahun demi tahun tidak muncul juga keberanianku untuk bercerita. Tidak pernah pula ia menanyakan tentang keluargaku di desa.
Mas Gun selalu sibuk sendiri dengan pekerjaannya walaupun ia sangat baik dan perhatian padaku dan anak kami tapi ia tak pernah lepas dari bekerja.
Ia sakit sekarang, sakit keras. Masih dingin padaku pun ia tetap aku urus dengan baik. Kemarin pagi ketika aku membacakannya koran seperti biasa setiap pagi, ia yang membuatku pergi melakukan perjalanan ini.
"Min, jemput anak dan ibu mu. Minta mereka tinggal dengan kita. Kulihat sejak bertemu tetanggamu dari kampung itu pikiranmu selalu kemana mana. Ada suster yang merawatku, kamu tidak usah kuatir. " Kata mas Gun.
"Kau Yakin?" Aku masih tak percaya kata katanya barusan.
"Aku hanya ingin keluarga kita benar benar bahagia Min. Tidak ada hal lagi yang disimpan , ditutup tutupi. Aku ingin menyelesaikan semua masalah sebelum aku mati Min, jangan sampai ada penyesalan aku belum mengenal anakmu." Ia tersenyum...
Baik sekali kamu mas Gun bisikku pelan.
Lalu berangkatlah aku.... sambil terus tersenyum dalam hati kata kata "tunggu ibu datang Nur" berkali kali terucap.
*lanjutan Garempung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar