"Itu untuk kelangenane Bapak nanti" kata Ibu, ketika pulang dari kota aku menemukan kandang besar dimuka rumah.
"Aku laki laki Jawa Din, laki laki Jawa itu bisa dibilang sempurna kalau sudah punya wisma, wanita, turangga, kukila dan curiga. Aku punya wisma, rumah kita ini kubeli dari hasil jerih payahku sendiri, aku punya istri berarti aku punya wanita, biar jelek tapi aku juga punya fiat tahun 75 itu kan... itu turanggaku, sekarang kamu lihat didepan rumah, ada kandang burung.. sebentar lagi aku akan punya kukila." Terangnya ketika kutanyakan untuk apa kadang sebesar itu.
Belum kuceritakan ya kalau besarnya kandang itu bisa dijadikan kamar? hampir sebesar kamar kos ku di kota. Bisa buat menaruh fiat bapak yang hampir tidak pernah menginjakkan rodanya ke jalan lagi itu.
"Bapak ndak punya curiga juga setahuku?" Tanyaku menggoda.
"Buat apa Din, sudah bukan jaman perang. Lagipula aku dimarahi Ibumu,katanya ndak mau kalau sampai ada senjata tajam dirumah ini selain pisau" Katanya hampir berbisik takut terdengar ibu.
"Kapan Bapak mau beli burung?" Tanyaku lagi, heran kenapa kandang itu tidak juga diisi.
"Aku bingung mau isi dengan burung jenis apa" Katanya terlihat susah.
"Bapak inginnya burung seperti apa?" Aku mencoba membantu
"Yang tidak sulit merawatnya tapi suarane apik" Katanya sambil berangan
"Oalah pak, kenapa to ndak ke pasar burung,pilih sendiri burung seperti apa jangan cuma diangen angen manuke ndak bakalan menclok sendiri kedalam kandang" cerocos ibu ku. Aku hanya cengar cengir memandangi orang tuaku itu.
"Oalah pak, kenapa to ndak ke pasar burung,pilih sendiri burung seperti apa jangan cuma diangen angen manuke ndak bakalan menclok sendiri kedalam kandang" cerocos ibu ku. Aku hanya cengar cengir memandangi orang tuaku itu.
Beberapa minggu setelah aku kembali ke kota ibu menelfon ku. Mengabari kalau bapak sakit setelah ditipu penjual burung.
"Koq bisa bu?" Tanyaku heran, Bapak kan cukup pintar masa bisa dibohongi orang.
"Bapakmu itu kan ndak pengalaman soal manuk, dia ndak lihat isi kantong kertas semen itu apa yang penting kumendang suarane. Sing penting bikin iri tonggone, rak ngertine isine manuk emprit, diapusi Bapakmu, sekarang sakit badannya panas, ngigau burung yang suaranya bagus" Cerita Ibu ku, kesal sekali Ibu tampaknya, pasti Bapak juga sudah banyak mengeluarkan uang untuk membeli burung itu.Terbayang wajah Bapak yang sedang dimarahi Ibuku.
Keesokannya lagi lagi aku pulang kampung. Bapak tidak secerah biasanya, sudah sembuh sakitnya tapi terlihat masih murung.
"Bapak kenapa?" Tanyaku, sambil duduk disampingnya
"Kamu tau Din, aku malu sekali. Laki laki Jawa tapi ndak tau bagaimana milih kukila. Orang orang pasti menertawakanku" katanya galau
"Ada yang menertawakan bapak?" Aku prihatin
"Ndak ada, tapi pasti dibelakangku semua tertawa. Mau ditaruh dimana mukaku Din" Suaranya serak
"Menurut Bapak penting punya kukila yang kumendang suarane? Kalau buat aku dan Ibu, bapak itu sudah laki laki sekali. Menjaga kami dengan baik, menafkahi, semua yang dilakukan Bapak sebagai laki laki sudah sempurna pak" Kataku membesarkan hatinya.
"Kukila itu ndak penting pak, kita bukan orang jaman dulu. Yang penting yang kumandang itu suara kebaikannya Bapak. Buat apa punya burung dengan suara bagus tapi kelakuan Bapak dikenal ndak baik" Ibu ku menambahi.
"Ya sudah, kapok aku urusan beli burung. Besok ta beli ayam jago saja" kata Bapak sambil ngeloyor pergi, aku dan ibu hanya geleng geleng kepala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar