"Sama sekali belum berubah" Kata Ibu sambil terus memandang sekeliling, sebentar sebentar tangannya sibuk mengelus elus barang barang dari masa lalunya.
"Dulu waktu mau nikah sama Ayah juga pulang ke desa?" Tanyaku penasaran. Setahuku Orang tuaku tidak pernah bercerita pergi ke desa ini berdua. Ibu menggeleng.
"Kenapa?" Tanyaku lagi
"Waktu itu Kakek Nenek yang datang ke Jakarta, cuma sekali itu mereka mau pergi keluar desa" Matanya menerawang ketika bicara. Mungkin mengingat ingat bahagia menikah dengan Ayah. Aku masih ingin bertanya tapi Ibu memaksaku tidur.
Esoknya aku bangun ketika matahari sudah tinggi. Ibu pasti bangun dari pagi pagi sekali. Cepat cepat aku bangun dan mencari Ibu.
Rumah yang besar itu terasa sepi, seperti tanpa penghuni. Setelah mencuci muka asal asalan aku mulai berkeliling. Di dapur tungku memasak dari kayu masih mengeluarkan asap meski sudah tidak dipergunakan untuk memasak. Teh dan pisang goreng ada dimeja makan, tapi tak ada kelebat seorang pun.
Rumah ini, meski pintu pintu dan jendela jendela dibuka lebar lebar tetap terasa menyeramkan. Pintu hitam besar itu juga terbuka. Kulongokkan kepalaku kedalam kamar. Besar, lemari lemari dan bangku yang mengisi kamar tampak sama tuanya dengan tempat tidur besar yang berkelambu itu. Bau nya seperti abad yang lalu meski tak kulihat debu dimanapun.
Pandanganku terpaku pada sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur. Sosok yang kudengar dengkurnya semalam. Dari tempatku berdiri bisa kulihat rambutnya yang putih panjang, kulitnya yang keriput juga terlihat putih pucat. Ketika aku hendak meneruskan mencari ibu sosok itu itu memanggilku.
"Kau, anaknya Dahlia!" Kata suara parau itu memanggilku. Lebih mirip perintah.
"Saya Aida" Aku memperkenalkan diri sambil mendekat perlahan. Takut mahluk itu tiba tiba menerkamku. Saat itu aku merasa seperti si tudung merah menghadapi serigala jahat yang berpura pura menjadi neneknya.
"Tidak mirip Dahlia, mirip bapakmu?" Tanyanya galak.
"Orang bilang begitu" Jawabku mulai berani, tampaknya ia tak bisa bangun.
"Sudah sana keluar, bilang sama Nenekmu aku mau makan ikan gabus hari ini" Katanya mengusirku, wajahnya semakin terlihat galak.
Pantas kalau dia disebut si "Setan Tua", memang tingkahnya menyebalkan.
Begitu sampai di depan pintu aku melihat Ibu dan Kakek berjalan memasuki pekarangan.
"Kami baru melihat ladang di timur desa" Kata Kakek sambil tersenyum.
"Enak tidur mu? " Tanyanya sambil mengelus elus kepalaku. Aku mengangguk senang.
"Siapa perempuan dikamar itu?" Tanyaku pada Ibu setelah Kakek berlalu.
"Nenek buyut mu. Sudah ketemu?" Tanya Ibu
"Sudah" Jawabku
"Apa dia bilang?" Tanyanya penasaran, suara kami masih perlan seperti takut terdengar orang lain.
"Dia bilang aku tidak mirip Ibu, dia minta Nenek masak ikan gabus hari ini tapi aku belum bertemu Nenek" Bisikku.
"Tidak usah bilang Nenek sudah tau. Dia makan ikan Gabus setiap hari selasa dan kamis. Itu sejak Ibu masih kecil" terang Ibu.
"Tidak bisa bangun, sakit apa?" Tanyaku masih penasaran.
"Sudah terlalu tua, umurnya 100 tahun lebih" kata Ibu masih berbisik.
"Dia yang Ibu bilang Setan Tua? " Suaraku nyaris tak terdengar, Ibu mengangguk. Aku memandangnya bingung minta penjelasan lebih.
"Nanti kamu akan tahu sendiri kenapa" Ibu berteka teki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar