“Jangan percaya
apapun yang Nenek buyut bilang! Itu hanya isapan jempol Da! KAMU SAMA SEKALI
TIDAK BERDARAH HITAM!” Ibu dengan nada marah menegaskan padaku.
“Bagaimana kalau
benar Bu? Kalau aku lebih Hitam dari semua?” Rengekku sambil terus menangis
“Apa Ibu akan
membenciku?”
“Tidak, Ibu tidak
akan pernah bisa membencimu Da. Kamu tidak akan pernah menjadi seperti yang
Nenek buyut bilang, Kamu anak yang baik. Percaya Ibu” Matanya bersungguh
sungguh tangannya mencengkeram kedua pundakku.
Tapi Ibu tidak
tahu kan kalau aku sudah hitam sejak kecil, hampir aku bilang begitu pada Ibu.
Aku tidak pernah iri atau dengki, aku hanya akan marah jika diganggu. Pikiran
jahatku timbul hanya saat aku diganggu.
“Besok kita
pulang” Kata Ibu tiba tiba sambil mengeluarkan pakaian kami dari lemari.
“Ada apa ini
Dahlia?” Kata Kakek yang tiba tiba masuk ke kamar. Kebingungan.
“Nenek buyut nya
Aida meracau, dia bilang macam macam tentang Aida. Anak ini ketakutan Ayah.
Besok kami akan kembali ke kota” Terang Ibu sambil terus mengeluarkan baju baju
kami tanpa memperhatikan Kakek.
“Aidaaaa!!!!!”
Teriak suara parau dari kamar depan.
“Jangan pergi!
Kamu hanya akan dibuatnya menangis lagi” Ibu memelototiku.
Aku terdiam,
patuh.
“Sembunyikan
Aida! Sembunyikan Hitam mu, jangan biarkan orang lain selain keluarga kita
tahu. Mereka akan membunuhmu seperti mereka membunuh ketiga anakku!!!” Masih
berteriak teriak, perempuan serenta itu tapi suaranya keras sekali.
Lalu senyap, saat
itu Kakek terburu buru keluar kamar menuju kamar Ibunya. Aku mengikuti dari
belakang.
“Hamdan, sudah
bisa mati dengan tenang aku sekarang. Sudah ada penggantiku disini”
Pandangannya melembut pada anak lelakinya.
Kakek memegang
tangan Nenek buyut, membisikinya sesuatu. Nenek buyut diam, matanya masih
terbuka tarikan nafasnya masih teratur, lama lama semakin jarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar