Malam itu kami
tidak ada yang tidur, Kakek dan Kakek Masri berjaga disamping tempat tidur
Nenek Buyut. Aku, Ibu dan Nenek duduk di ruang tamu. Setiap kami pikir sudah waktunya ia “pergi”
nafasnya akan kembali teratur. Meracau ini itu tiada henti.
“Benar kalau
kakak kakak Kakek dibunuh?” Tanya ku ngeri
“Nenek tidak tahu
Da, kejadiannya waktu Kakek mu dan Kakek Masri masih kecil.
Kebakaran itu api
darimana penyebabnya tidak ada yang pernah tahu.” Jawab Nenek.
Kakek mendekat.
“Yang sudah lewat
biarkan kan lah Da, tidak baik di ungkit kembali.” Katanya bijak.
“Apa benar kalau
orang kampung tau aku juga akan dibunuh?” Tanyaku takut takut.
“Kau percaya
kalau orang bisa membunuh orang lain hanya karena prasangka?” Jawabnya sambil tersenyum
Belum sempat
Kakek meneruskan bicaranya Kakek Masri mendekat.
“Abang, aku
disuruh ibu ke rumah Rubiah. Ibu ingin bertemu dengan Rubiah. Aida kau
disuruhnya menemani dikamar” Kata Kakek Masri
“Buat apa?” Tanya
Ibu galak.
“Hanya ingin
bicara Dahlia, dia janji padaku tadi tidak akan bicara yang bukan bukan.” Kata
Kakek Masri menerangkan.
“Kau ingin
ditemani ke rumah Rubiah?” Tanya Nenek pada Kakek Masri
“Iya kak, temani
aku. Entah bagaimana tanggapan keluarga Rubiah. Aku terlalu malu untuk datang
menemuinya seorang diri” Kata Kakek Masri tak berdaya.
“Aida, Ibu akan
menunggumu dimuka pintu. Andai Ibu dengar bicaranya melantur kau langsung Ibu
tarik keluar” Tegas Ibu, agak mengancam. Aku hanya mengangguk.
Masih menunduk
aku duduk disamping tempat tidurnya.
“Masih kau
pikirkan apa yang aku ucapkan? Aku tahu sulit bagimu untuk memagari pikiranmu
dari niat jahat. Kakek buyutmu dulu selalu mengawasiku dan ketiga putriku,
supaya kami tidak membuat masalah. Aku hanya tingkah laku ku yang buruk, tapi
kau tidak akan ada yang bisa mengawasi pikiranmu. Bahkan tidak juga Ibu mu.
Itu sebabnya kau
harus hati hati, Begitu orang lain tahu kau yang akan disalahkan bukan penjara
bagimu tapi kau akan dibunuh. Karena orang orang akan lebih takut pada apa yang
mereka tak bisa lihat Da” Kata nya perlahan, aku diam menimbang.
“Aku bisa lihat
kau bingung, kau darah hitam tapi kau juga punya sifat sifat baik keturunan
suamiku.Kau pasti bisa. Kau akan baik baik saja.” Ia mulai tampak lelah.
“Kau tau kenapa
aku selalu merasa marah pada Rubiah?” tanyanya, aku menggeleng.
“Pernah kau temui
orang begitu lugu dan polos? Rubiah itu juga bodoh sekali. Nenek mu bisa kuberi
tahu tapi Rubiah susah sekali” Katanya, nadanya tidak geram sama sekali.
“Bukan alasan
untuk menghajarnya kan?” Tanyaku takut takut.
“Kau tidak tahu
rasanya bagaimana darahku mendidih tiap kali bicara padanya. Benar,
kebodohannya bukan alasan untuk bisa seenaknya mengahajarnya. Tapi aku tidak
bisa menahan diri”
Setidaknya aku
lebih baik, tidak sembarangan menghajar orang lain. Salah Aida, bisik hati
kecilku tidak ada yang benar ketika itu berarti menyakiti orang lain.
“Kau tahu? Umurku
tidak akan lama lagi. Itu sebabnya aku minta si Masri menjemput Rubiah. Aku
tidak ingin masuk neraka juga, aku akan minta ma’af pada Rubiah. Semoga ia
masih mau mema’afkanku dan kembali pada Masri.”
“sedih rasanya
melihatnya seorang diri sampai tua begitu”
Ternyata ia masih
takut masuk neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar