Selasa, 24 Juli 2012

Bad Blood - 3 -

Perangainya memang buruk sekali. Kalau pagi itu ia terlihat tenang lain lagi saat siang. Suara teriakannya membahana. Memanggil manggil orang di rumah, minta disiapkan makan, minta disuapi, mau kencing, minta diganti baju, dan masih banyak hal lagi. Awalnya kupikir ia seperti itu karena ia sudah tak bisa bangun lagi, ternyata aku salah.


"Dari dulu Nenek buyutmu sudah begitu. Suka teriak teriak, marah marah, waktu masih segar dulu, malah setiap hari ada saja orang yang diajaknya bertengkar. Orang desa tidak ada yang berani mendekat" Ibu menjelaskan padaku waktu kami akan bersiap tidur.


"Ibu pasti malu sekali ya waktu itu" Kataku mencoba mencari alasan kenapa Ibu pergi.


"Tidak, Ibu takut" Jawab Ibu singkat.


"Kenapa?" Tanyaku lagi. Entah kenapa Ibu tidak jadi berkata kata.


*********


Sudah Beberapa hari tapi aku masih belum juga terbiasa mendengar teriakannya atau suara bantingan benda benda. Ia memang sudah tidak bisa bangun tapi benda apapun yang ada dalam jangkauannya bisa dilemparkannya kalau ia sedang merah.


Suasana akan kembali tenang ketika ia sudah tidur.


"Ibu, masih lama kita disini?" tanyaku, saat kami pergi melintasi desa menuju pemakaman tempat kakek buyutku disemayamkan. Sesekali orang kampung menyapa Ibu, nampaknya masih banyak yang ingat Ibu.


"Kamu sudah tidak betah?" Ibu balik bertanya. Aku hanya diam.


"Dua minggu lagi kita pulang, kamu masih libur kan?" Putusnya.


Akan jadi liburan semesteran yang paling panjang dan membosankan juga membuat paling jantungan setiap saat siap siap dikejutkan suara nenek buyut.


"Kakek Masri tidak menikah bu?" Mengalihkan pembicaraan menanyakan tentang paman ibu ku itu.


"Menikah, punya anak malah" jawab Ibu tenang. Aku memandangnya minta penjelasan.


"Istri dan Anaknya diambil keluarganya setelah dihajar Nenek buyut habis habisan. Kakek Masri tidak berani melawan Nenek buyut."


"Awalnya Ibu tidak tau kenapa bibi selalu berdiam dikamar, kenapa ia menagis tak bersuara dalam gelap, kenapa tiap kali ada lebam ditubuh nya ia tak mau bicara. Sampai akhirnya Ibu lihat sendiri ia disiksa." Aku masih terdiam mendengar cerita Ibu.


"Waktu Ibu tanya kenapa Paman tidak melawan, ia hanya diam. Ternyata perlakuan yang sama juga diterima Nenekmu. Tapi Nenek bertahan dirumah itu karena ia sebatang kara. Lain dengan Bibi, yang begitu keluarganya tahu kelakuan nenek buyutmu langsung mengambilnya dan meyuruh menceraikan paman." Ibu menghela nafas, kami melewati kebun kopi, pemakaman masih jauh rupanya.


"Kata Nenek dulu sifat Nenek buyutmu tak begitu, Waktu suaminya masih hidup. Perangai buruknya keluar ketika kakek buyutmu meninggal. Pengikatnya hilang, darah hitamnya muncul lagi." Ibu melanjutkan ceritanya.


"Darah hitam?" Aku bingung.


"Menurut kepercayaan daerah kita, keluarga Nenek buyutmu dialiri darah hitam. Darah jahat yang menurun lewat keturunan perempuan. Semua rata rata punya perangai seperti Nenek buyutmu."


"Apa aku juga darah hitam bu?" Aku mulai takut.


"Itu kenapa dulu Ibu pergi, Ibu tidak percaya kalau jadi jahat itu keturunan, Ibu takut terpengaruh. Ibu hanya tau kalau setiap hari melihat kekerasan Ibu juga akan menjadi kasar. Kalau Ibu terbiasa melihat kebencian tentu Ibu juga akan jadi pembenci" 


"Tapi bagaimana kalau benar karena nenek moyang kita jahat maka kita juga akan jadi jahat bu?" Aku merengek.


"Sebelum tau cerita ini apa kamu pernah merasa jahat? senang melakukan hal hal yang buruk? tidak kan? Percaya sama Ibu. Ibu mau mengajakmu kesini karena Ibu merasa kamu sudah cukup besar untuk tau mana yang benar dan mana yang salah, bahwa kamu tidak akan mungkin terpengaruh"


"Tapi cerita Ibu dulu nenek buyut juga tidak begitu, lalu sifat jahatnya muncul lagi" 


"Kakek buyut itu orang yang sangat baik. Ia yang menanamkan kebaikan pada Nenek buyutmu. Kalau setelah Kakek buyutmu tiada ia kembali lagi kepada sifat aslinya."


Aku masih menimbang nimbang, jelas aku takut kalau sampai nanti kelakuanku seperti nenek buyut.


"Lagipula sepertinya sifat seperti itu sudah ditanamkan sejak kecil dalam keluarga Nenek buyutmu. Kita tidak seperti itu, kita bukan pembenci" Tegas ibu memandangiku sungguh sungguh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar