Rabu, 25 Juli 2012

Bad Blood - 7 -


Malam itu kami tidak ada yang tidur, Kakek dan Kakek Masri berjaga disamping tempat tidur Nenek Buyut. Aku, Ibu dan Nenek duduk di ruang tamu.  Setiap kami pikir sudah waktunya ia “pergi” nafasnya akan kembali teratur. Meracau ini itu tiada henti.

“Benar kalau kakak kakak Kakek dibunuh?” Tanya ku ngeri

“Nenek tidak tahu Da, kejadiannya waktu Kakek mu dan Kakek Masri masih kecil. 

Kebakaran itu api darimana penyebabnya tidak ada yang pernah tahu.” Jawab Nenek.

Kakek mendekat.

“Yang sudah lewat biarkan kan lah Da, tidak baik di ungkit kembali.” Katanya bijak.

“Apa benar kalau orang kampung tau aku juga akan dibunuh?” Tanyaku takut takut.

“Kau percaya kalau orang bisa membunuh orang lain hanya karena prasangka?”  Jawabnya sambil tersenyum

Belum sempat Kakek meneruskan bicaranya Kakek Masri mendekat.

“Abang, aku disuruh ibu ke rumah Rubiah. Ibu ingin bertemu dengan Rubiah. Aida kau disuruhnya menemani dikamar” Kata Kakek Masri

“Buat apa?” Tanya Ibu galak.

“Hanya ingin bicara Dahlia, dia janji padaku tadi tidak akan bicara yang bukan bukan.” Kata Kakek Masri menerangkan.

“Kau ingin ditemani ke rumah Rubiah?” Tanya Nenek pada Kakek Masri

“Iya kak, temani aku. Entah bagaimana tanggapan keluarga Rubiah. Aku terlalu malu untuk datang menemuinya seorang diri” Kata Kakek Masri tak berdaya.

“Aida, Ibu akan menunggumu dimuka pintu. Andai Ibu dengar bicaranya melantur kau langsung Ibu tarik keluar” Tegas Ibu, agak mengancam. Aku hanya mengangguk.

Masih menunduk aku duduk disamping tempat tidurnya.

“Masih kau pikirkan apa yang aku ucapkan? Aku tahu sulit bagimu untuk memagari pikiranmu dari niat jahat. Kakek buyutmu dulu selalu mengawasiku dan ketiga putriku, supaya kami tidak membuat masalah. Aku hanya tingkah laku ku yang buruk, tapi kau tidak akan ada yang bisa mengawasi pikiranmu. Bahkan tidak juga Ibu mu.

Itu sebabnya kau harus hati hati, Begitu orang lain tahu kau yang akan disalahkan bukan penjara bagimu tapi kau akan dibunuh. Karena orang orang akan lebih takut pada apa yang mereka tak bisa lihat Da” Kata nya perlahan, aku diam menimbang.

“Aku bisa lihat kau bingung, kau darah hitam tapi kau juga punya sifat sifat baik keturunan suamiku.Kau pasti bisa. Kau akan baik baik saja.” Ia mulai tampak lelah.

“Kau tau kenapa aku selalu merasa marah pada Rubiah?” tanyanya, aku menggeleng.

“Pernah kau temui orang begitu lugu dan polos? Rubiah itu juga bodoh sekali. Nenek mu bisa kuberi tahu tapi Rubiah susah sekali” Katanya, nadanya tidak geram sama sekali.

“Bukan alasan untuk menghajarnya kan?” Tanyaku takut takut.

“Kau tidak tahu rasanya bagaimana darahku mendidih tiap kali bicara padanya. Benar, kebodohannya bukan alasan untuk bisa seenaknya mengahajarnya. Tapi aku tidak bisa menahan diri”

Setidaknya aku lebih baik, tidak sembarangan menghajar orang lain. Salah Aida, bisik hati kecilku tidak ada yang benar ketika itu berarti menyakiti orang lain.

“Kau tahu? Umurku tidak akan lama lagi. Itu sebabnya aku minta si Masri menjemput Rubiah. Aku tidak ingin masuk neraka juga, aku akan minta ma’af pada Rubiah. Semoga ia masih mau mema’afkanku dan kembali pada Masri.”

“sedih rasanya melihatnya seorang diri sampai tua begitu”

Ternyata ia masih takut masuk neraka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar