Selasa, 24 Juli 2012

Bad Blood - 4 -

Tak lama kemudian kami tiba dipemakaman. jangan dibayangkan seperti pemakaman dikota besar seperti tempat Ayah dikuburkan. Pemakaman di desa ini meski tidak bisa dibilang rapih tapi juga tidak terlalu semrawut, dikelilingi rumpun bambu yang tinggi membuat suasana kuburannya terasa sekali. Semua kuburan tanpa nisan nama, hanya onggokan batu besar. Tapi Ibu masih ingat satu persatu kuburan keluarganya. Kami tidak tinggal lama, setelah membersihkan kuburan keluarga dan mengirimkan do'a kami pun pulang.

Sepanjang jalan pulang aku tidak banyak bicara. Aku terus berpikir, aku takut, aku juga keturunan darah hitam. Aku takut suatu hari nanti aku juga akan berubah jadi jahat sepenuhnya. 

Satu hal yang Ibu tidak tau, aku juga pembenci. Meski tidak pernah bertengkar dengan orang lain atau memusuhi terang terangan tapi aku seringkali memikirkan hal yang jahat. Setiap kali ada orang yang menyakiti hatiku atau membuatku marah, aku langsung memikirkan hal hal buruk agar menimpa orang itu. 

Orang orang selalu berpendapat bahwa aku adalah anak perempuan yang manis, baik, santun dan pendiam. Orang orang tidak tau kalau pikiranku tentang hal jahat itu selalu jadi kenyataan. 

Pernah suatu ketika Ibu dimaki maki seorang perempuan yang menuduh Ibu merebut suaminya. Karena marah tubuhku bergetar hebat, dalam hati aku mengutuk perempuan itu. Tak lama kami mendapat kabar, sepulang dari rumah kami perempuan itu tertabrak motor. 

Hal hal seperti ini seringkali terjadi sejak aku masih kecil. Aku selalu berharap kalau itu hanya kebetulan semata, bukan karena pikiran jahatku. Tapi dalam hatiku, aku puas orang yang kubenci mengalami hal yang buruk.

Aku jadi sering memperhatikan nenek buyut. Apa dia mengalami apa yang kualami? pikiran pikiran buruk, kecelakaan kecelakaan pada orang orang yang dibenci?

Tampaknya tidak, tidak ada cerita Ibu tentang itu. Hanya perangainya saja yang buruk.

"Aida, antarkan nampan makan siang Nenek buyutmu" perintah nenek sambil menyorongkan nampan.

Aku patuh, membawa nampan masuk ke kamar berpintu hitam itu. Mata tuanya mengawasiku.Aku jadi salah tingkah. Aku hampir yakin melihat ujung ujung bibirnya mengedut membuat senyuman saat sekilas meliriknya. Senyum yang mengerikan. Bukan hanya karena sudah tak ada lagi gigi dimulutnya, tapi senyumnya seolah penuh rasa puas.

"Makan malam Nek" Kataku sambil menaruh nampan di meja samping tempat tidurnya.

"Panggil ibu mu untuk menyuapiku" Perintahnya. Aku berlalu memanggil Ibu

"Nek, siapa yang biasa menyuapi Nenek buyut?" Tanyaku pada Nenek saat aku kembali ke dapur.

"Kakek dan kakek Masri mu" Jawab Nenek.

"Kalau nenek? tidak pernah?" Tanyaku

"Kalau ada yang hendak ia bicarakan biasanya begitu" Jawab Nenek masih terus merajang sayur.

"Biasanya bicara apa?" Aku main mainkan air di baskom tempat nenek mencuci sayur

"Urusan rumah tangga, hasil panen, hal hal semacam itulah." Nenek memandangku heran

"Hanya ingin tau saja" Jawabku tersenyum.

"Mungkin badannya sudah susah bergerak, tapi ingatannya masih bagus."

"Benar umurnya 100 tahun nek?"

"Tidak pernah ada yang tau pasti tapi kira kira nya begitu. Kakekmu itu anak ke 4 nya usianya sudah 82 tahun meski masih terlihat gagah begitu" Terang nenek

"Kemana kakak kakak kakek nek?" 

"Meninggal sewaktu kecil. Rumah ini pernah kebakaran hebat dulu, ketiga kakak kakek mu tidak bisa diselamatkan"


Nenek tampak sudah tidak mau meneruskan pembicaraan lagi, akhirnya aku keluar dari dapur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar