Rabu, 25 Juli 2012

SELINGKUH

Gerakannya cenderung selingkuh
Tatapannya jelas selingkuh
Cara bicaranya juga selingkuh
Tapi kenapa sikapnya bisa menutupi selingkuhnya?




Duduknya pasrah
Bicaranya pelan
Tatapannya melembut
Tapi ia tidak mesra, tidak intim, tidak mendekat
Ia selingkuh?






Kenapa seperti sudah pasangan tapi bukan sepasang
Kenapa terlihat seperti punya bahasa sendiri tapi tidak bicara
Kenapa terlihat berjauhan tapi sebenarnya sangat ingin berdekatan
Selingkuh?




Note : Bandung, Mei 2004

Bad Blood - 8 -


Hampir lewat tengah malam ketika Nenek Rubiah datang. Belum pernah ia menentang keluarganya seperti kali ini katanya. Memang terlihat sekali betapa lugu dan polosnya Nenek Rubiah. Ia kami tinggal kan berdua saja dengan Nenek buyut dikamar. Lama juga mereka bicara hampir satu jam an lebih.

Lalu kami dipanggil semua kedalam kamar.

“Aku minta ma’af” Itu kalimat terakhir nenek buyut.

Ia, akhirnya meninggal. Semua orang menangisinya. Lihat Nek, bahkan dengan tabiat burukmu pun keluargamu pun masih menangisi kepergianmu, bisikku perlahan ditelinganya.



Tiga hari setelah memakamkannya, aku dan Ibu memutuskan pulang.  Untuk terakhir kali nya Kakek memintaku menemaninya ke ladang.

“Tinggalkan darah hitammu disini Da” Katanya tiba tiba

“Kakek  sudah lama tahu, sejak pertama kali kau menginjakkan kaki kerumah ini. Tapi kamu anak yang baik. Maka Kakek minta, tinggalkan darah hitam mu disini” Pinta nya lagi. Apa kakek akan membunuhku?

“Sebelum kamu tahu tentang darah hitam, pernahkah kamu merasa diri sebagai orang yang jahat?” tanyanya padaku menatap lurus lurus.

“Tapi aku sering menyakiti orang lain Kek”

“Kamu senang menyakiti orang lain?”

“Kalau orang itu membuatku marah atau sakit hati, iya”

“Tapi tidak pada orang orang yang tidak ada salah padamu kan?”

“Tidak kek”

“Da, kakek tau sulit bagimu untuk mengendalikan pikiranmu. Kakek juga tau kalau kau sulit memaafkan. Demi kebaikanmu sendiri cobalah untuk banyak bersabar. Kau tidak ingin nantinya seperti Nenek buyutmu kan?”

“Selalu kau ingat ingat Da, Alloh tau semua apa yang kau lakukan pasti akan mendapat ganjarannya.”

“Tapi Kek, itukan bukan inginku. Aku sulit menahan diri”

“Kakek tau Da, makanya Kakek minta kau menahan diri nak”

“Kenapa aku harus terlahir jahat kek?”

“Aida, kau ingat kan manusia lain juga punya sifat jahat. Punya pikiran jahat. Ini Cuma bagaimana kamu mengendalikan dirimu Da”

“Darah hitam, anggaplah hanya sebagai cerita saja Da. Ini supaya kamu lebih ringan melangkah.Tapi kau harus tetap bersabar, menahan diri, mema’afkan orang lain”

“Jangan kau pendam sendiri kalau ada masalah, bicarakanlah. Kakek yakin kau pasti bisa Aida. Jalanmu masih panjang” Katanya sambil tersenyum

Dalam hati aku ragu ragu, aku serba tidak sempurna. Mampukah aku menahan amarahku kelak.

“Pasti bisa Aida” Kata Kakek menyemangatiku



Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Ibu bilang padaku

“Kelak jika ada yang menyusahkan hatimu, bilang pada Ibu. Ibu akan membantu. Ibu tahu kau anak yang baik. Ingat Aida, kalau kita selalu berbuat baik maka kebaikan pula yang akan datang pada kita” Katanya sambil memandangku penuh sayang. Aku mengangguk, tak ingin membuat Ibu yang ku sayangi cemas.

Keyakinan diriku bertambah, aku yakin aku akan jadi baik. Darah hitam tinggal cerita. Biarlah itu berhenti pada Nenek buyut saja. Aku sudah memutuskan siang itu dengan Kakek, berhenti sudah darah hitam ini mengalir.



Note : Abeeeeeeeeees...gantung yaaaak? Intinya sih Aida nya baik baik aja inget guys... orang baik akan dapet jalan yang baik juga...kalaupun diawal banyak kerikil tapi nanti ditujuan pasti hasilnya juga baik :D

Bad Blood - 7 -


Malam itu kami tidak ada yang tidur, Kakek dan Kakek Masri berjaga disamping tempat tidur Nenek Buyut. Aku, Ibu dan Nenek duduk di ruang tamu.  Setiap kami pikir sudah waktunya ia “pergi” nafasnya akan kembali teratur. Meracau ini itu tiada henti.

“Benar kalau kakak kakak Kakek dibunuh?” Tanya ku ngeri

“Nenek tidak tahu Da, kejadiannya waktu Kakek mu dan Kakek Masri masih kecil. 

Kebakaran itu api darimana penyebabnya tidak ada yang pernah tahu.” Jawab Nenek.

Kakek mendekat.

“Yang sudah lewat biarkan kan lah Da, tidak baik di ungkit kembali.” Katanya bijak.

“Apa benar kalau orang kampung tau aku juga akan dibunuh?” Tanyaku takut takut.

“Kau percaya kalau orang bisa membunuh orang lain hanya karena prasangka?”  Jawabnya sambil tersenyum

Belum sempat Kakek meneruskan bicaranya Kakek Masri mendekat.

“Abang, aku disuruh ibu ke rumah Rubiah. Ibu ingin bertemu dengan Rubiah. Aida kau disuruhnya menemani dikamar” Kata Kakek Masri

“Buat apa?” Tanya Ibu galak.

“Hanya ingin bicara Dahlia, dia janji padaku tadi tidak akan bicara yang bukan bukan.” Kata Kakek Masri menerangkan.

“Kau ingin ditemani ke rumah Rubiah?” Tanya Nenek pada Kakek Masri

“Iya kak, temani aku. Entah bagaimana tanggapan keluarga Rubiah. Aku terlalu malu untuk datang menemuinya seorang diri” Kata Kakek Masri tak berdaya.

“Aida, Ibu akan menunggumu dimuka pintu. Andai Ibu dengar bicaranya melantur kau langsung Ibu tarik keluar” Tegas Ibu, agak mengancam. Aku hanya mengangguk.

Masih menunduk aku duduk disamping tempat tidurnya.

“Masih kau pikirkan apa yang aku ucapkan? Aku tahu sulit bagimu untuk memagari pikiranmu dari niat jahat. Kakek buyutmu dulu selalu mengawasiku dan ketiga putriku, supaya kami tidak membuat masalah. Aku hanya tingkah laku ku yang buruk, tapi kau tidak akan ada yang bisa mengawasi pikiranmu. Bahkan tidak juga Ibu mu.

Itu sebabnya kau harus hati hati, Begitu orang lain tahu kau yang akan disalahkan bukan penjara bagimu tapi kau akan dibunuh. Karena orang orang akan lebih takut pada apa yang mereka tak bisa lihat Da” Kata nya perlahan, aku diam menimbang.

“Aku bisa lihat kau bingung, kau darah hitam tapi kau juga punya sifat sifat baik keturunan suamiku.Kau pasti bisa. Kau akan baik baik saja.” Ia mulai tampak lelah.

“Kau tau kenapa aku selalu merasa marah pada Rubiah?” tanyanya, aku menggeleng.

“Pernah kau temui orang begitu lugu dan polos? Rubiah itu juga bodoh sekali. Nenek mu bisa kuberi tahu tapi Rubiah susah sekali” Katanya, nadanya tidak geram sama sekali.

“Bukan alasan untuk menghajarnya kan?” Tanyaku takut takut.

“Kau tidak tahu rasanya bagaimana darahku mendidih tiap kali bicara padanya. Benar, kebodohannya bukan alasan untuk bisa seenaknya mengahajarnya. Tapi aku tidak bisa menahan diri”

Setidaknya aku lebih baik, tidak sembarangan menghajar orang lain. Salah Aida, bisik hati kecilku tidak ada yang benar ketika itu berarti menyakiti orang lain.

“Kau tahu? Umurku tidak akan lama lagi. Itu sebabnya aku minta si Masri menjemput Rubiah. Aku tidak ingin masuk neraka juga, aku akan minta ma’af pada Rubiah. Semoga ia masih mau mema’afkanku dan kembali pada Masri.”

“sedih rasanya melihatnya seorang diri sampai tua begitu”

Ternyata ia masih takut masuk neraka.


Bad Blood - 6 -


“Jangan percaya apapun yang Nenek buyut bilang! Itu hanya isapan jempol Da! KAMU SAMA SEKALI TIDAK BERDARAH HITAM!” Ibu dengan nada marah menegaskan padaku.

“Bagaimana kalau benar Bu? Kalau aku lebih Hitam dari semua?” Rengekku sambil terus menangis

“Apa Ibu akan membenciku?”

“Tidak, Ibu tidak akan pernah bisa membencimu Da. Kamu tidak akan pernah menjadi seperti yang Nenek buyut bilang, Kamu anak yang baik. Percaya Ibu” Matanya bersungguh sungguh tangannya mencengkeram kedua pundakku.

Tapi Ibu tidak tahu kan kalau aku sudah hitam sejak kecil, hampir aku bilang begitu pada Ibu. Aku tidak pernah iri atau dengki, aku hanya akan marah jika diganggu. Pikiran jahatku timbul hanya saat aku diganggu.

“Besok kita pulang” Kata Ibu tiba tiba sambil mengeluarkan pakaian kami dari lemari.

“Ada apa ini Dahlia?” Kata Kakek yang tiba tiba masuk ke kamar. Kebingungan.

“Nenek buyut nya Aida meracau, dia bilang macam macam tentang Aida. Anak ini ketakutan Ayah. Besok kami akan kembali ke kota” Terang Ibu sambil terus mengeluarkan baju baju kami tanpa memperhatikan Kakek.

“Aidaaaa!!!!!” Teriak suara parau dari kamar depan.

“Jangan pergi! Kamu hanya akan dibuatnya menangis lagi” Ibu memelototiku.

Aku terdiam, patuh.

“Sembunyikan Aida! Sembunyikan Hitam mu, jangan biarkan orang lain selain keluarga kita tahu. Mereka akan membunuhmu seperti mereka membunuh ketiga anakku!!!” Masih berteriak teriak, perempuan serenta itu tapi suaranya keras sekali.

Lalu senyap, saat itu Kakek terburu buru keluar kamar menuju kamar Ibunya. Aku mengikuti dari belakang.

“Hamdan, sudah bisa mati dengan tenang aku sekarang. Sudah ada penggantiku disini” Pandangannya melembut pada anak lelakinya.

Kakek memegang tangan Nenek buyut, membisikinya sesuatu. Nenek buyut diam, matanya masih terbuka tarikan nafasnya masih teratur, lama lama semakin jarang.

Selasa, 24 Juli 2012

Bad Blood - 5 -

Semoga mereka meninggal bukan karena Nenek buyut, tidak mungkin kan seorang Ibu membunuh ketiga anaknya sekaligus.


Malam nya menjelang tidur.


"Da, kamu baik baik saja kan?" tanya Ibu tiba tiba.


"Iya, kenapa bu?" Tanyaku bingung


"Kamu... Ah sudahlah" Katanya lalu menarik selimut. Apa yang mau ditanyakan Ibu ya?


*******


Siang itu lagi lagi Nenek menyuruhku membawakan nampan ke kamar Nenek buyut. Sedapat mungkin biasanya aku menghindar, tapi kali ini tak mungkin lagi. Masih teringat jelas seringainya waktu itu.


"Mau dipanggilkan Ibu untuk menyuapi?" Tanyaku pada Nenek buyut


"Tidak usah, kamu saja" Katanya membuatku lemas. 


Ingin cepat cepat selesai menyuapinya tapi makannya lambat sekali. 


"Ibu mu bilang padamu rupanya." Katanya sambil terkekeh


"Bilang apa?" 


"Bahwa kau darah hitam, lebih hitam dari aku malah" seringainya 


"Aku tau sejak pertama kali memandangmu, dari pandangan matamu kau lebih hitam dari ketiga anakku yang mati itu. Bahkan lebih hitam dari Ibu dan nenek ku" Kata katanya menusuk hatiku, aku tak sanggup lagi, aku menangis.


"Jangan menangis, Itu bukan hal yang buruk seperti ibu mu bilang. Ibu mu juga menangis waktu ku bilang kau lah yang paling hitam." Katanya lagi. Pantas ibu aneh sekali malam itu.


"Apa salahnya jadi hitam? itu karunia, kau punya pertahanan diri tidak seperti Ibumu yang dari lahir lemah seperti Ibunya" Mulut tuanya terus berbicara, aku sesenggukan.


"Kupikir akan habis keluargaku, Tak ada lagi darah hitam yang mengalir. Tapi ternyata cucu buyutku lebih hebat dari semua" Suaranya penuh kebanggaan seolah olah aku pahlawan.


Saat itu Ibu menerobos masuk ke kamar


"Jangan ceritakan hal hal bodoh pada Aida, jangan pengaruhi pikirannya!" Teriak Ibu sambil menarikku keluar kamar. Dari sela sela air mataku bisa kulihat lagi senyum nya. Senyum yang aneh.



Bad Blood - 4 -

Tak lama kemudian kami tiba dipemakaman. jangan dibayangkan seperti pemakaman dikota besar seperti tempat Ayah dikuburkan. Pemakaman di desa ini meski tidak bisa dibilang rapih tapi juga tidak terlalu semrawut, dikelilingi rumpun bambu yang tinggi membuat suasana kuburannya terasa sekali. Semua kuburan tanpa nisan nama, hanya onggokan batu besar. Tapi Ibu masih ingat satu persatu kuburan keluarganya. Kami tidak tinggal lama, setelah membersihkan kuburan keluarga dan mengirimkan do'a kami pun pulang.

Sepanjang jalan pulang aku tidak banyak bicara. Aku terus berpikir, aku takut, aku juga keturunan darah hitam. Aku takut suatu hari nanti aku juga akan berubah jadi jahat sepenuhnya. 

Satu hal yang Ibu tidak tau, aku juga pembenci. Meski tidak pernah bertengkar dengan orang lain atau memusuhi terang terangan tapi aku seringkali memikirkan hal yang jahat. Setiap kali ada orang yang menyakiti hatiku atau membuatku marah, aku langsung memikirkan hal hal buruk agar menimpa orang itu. 

Orang orang selalu berpendapat bahwa aku adalah anak perempuan yang manis, baik, santun dan pendiam. Orang orang tidak tau kalau pikiranku tentang hal jahat itu selalu jadi kenyataan. 

Pernah suatu ketika Ibu dimaki maki seorang perempuan yang menuduh Ibu merebut suaminya. Karena marah tubuhku bergetar hebat, dalam hati aku mengutuk perempuan itu. Tak lama kami mendapat kabar, sepulang dari rumah kami perempuan itu tertabrak motor. 

Hal hal seperti ini seringkali terjadi sejak aku masih kecil. Aku selalu berharap kalau itu hanya kebetulan semata, bukan karena pikiran jahatku. Tapi dalam hatiku, aku puas orang yang kubenci mengalami hal yang buruk.

Aku jadi sering memperhatikan nenek buyut. Apa dia mengalami apa yang kualami? pikiran pikiran buruk, kecelakaan kecelakaan pada orang orang yang dibenci?

Tampaknya tidak, tidak ada cerita Ibu tentang itu. Hanya perangainya saja yang buruk.

"Aida, antarkan nampan makan siang Nenek buyutmu" perintah nenek sambil menyorongkan nampan.

Aku patuh, membawa nampan masuk ke kamar berpintu hitam itu. Mata tuanya mengawasiku.Aku jadi salah tingkah. Aku hampir yakin melihat ujung ujung bibirnya mengedut membuat senyuman saat sekilas meliriknya. Senyum yang mengerikan. Bukan hanya karena sudah tak ada lagi gigi dimulutnya, tapi senyumnya seolah penuh rasa puas.

"Makan malam Nek" Kataku sambil menaruh nampan di meja samping tempat tidurnya.

"Panggil ibu mu untuk menyuapiku" Perintahnya. Aku berlalu memanggil Ibu

"Nek, siapa yang biasa menyuapi Nenek buyut?" Tanyaku pada Nenek saat aku kembali ke dapur.

"Kakek dan kakek Masri mu" Jawab Nenek.

"Kalau nenek? tidak pernah?" Tanyaku

"Kalau ada yang hendak ia bicarakan biasanya begitu" Jawab Nenek masih terus merajang sayur.

"Biasanya bicara apa?" Aku main mainkan air di baskom tempat nenek mencuci sayur

"Urusan rumah tangga, hasil panen, hal hal semacam itulah." Nenek memandangku heran

"Hanya ingin tau saja" Jawabku tersenyum.

"Mungkin badannya sudah susah bergerak, tapi ingatannya masih bagus."

"Benar umurnya 100 tahun nek?"

"Tidak pernah ada yang tau pasti tapi kira kira nya begitu. Kakekmu itu anak ke 4 nya usianya sudah 82 tahun meski masih terlihat gagah begitu" Terang nenek

"Kemana kakak kakak kakek nek?" 

"Meninggal sewaktu kecil. Rumah ini pernah kebakaran hebat dulu, ketiga kakak kakek mu tidak bisa diselamatkan"


Nenek tampak sudah tidak mau meneruskan pembicaraan lagi, akhirnya aku keluar dari dapur.

Bad Blood - 3 -

Perangainya memang buruk sekali. Kalau pagi itu ia terlihat tenang lain lagi saat siang. Suara teriakannya membahana. Memanggil manggil orang di rumah, minta disiapkan makan, minta disuapi, mau kencing, minta diganti baju, dan masih banyak hal lagi. Awalnya kupikir ia seperti itu karena ia sudah tak bisa bangun lagi, ternyata aku salah.


"Dari dulu Nenek buyutmu sudah begitu. Suka teriak teriak, marah marah, waktu masih segar dulu, malah setiap hari ada saja orang yang diajaknya bertengkar. Orang desa tidak ada yang berani mendekat" Ibu menjelaskan padaku waktu kami akan bersiap tidur.


"Ibu pasti malu sekali ya waktu itu" Kataku mencoba mencari alasan kenapa Ibu pergi.


"Tidak, Ibu takut" Jawab Ibu singkat.


"Kenapa?" Tanyaku lagi. Entah kenapa Ibu tidak jadi berkata kata.


*********


Sudah Beberapa hari tapi aku masih belum juga terbiasa mendengar teriakannya atau suara bantingan benda benda. Ia memang sudah tidak bisa bangun tapi benda apapun yang ada dalam jangkauannya bisa dilemparkannya kalau ia sedang merah.


Suasana akan kembali tenang ketika ia sudah tidur.


"Ibu, masih lama kita disini?" tanyaku, saat kami pergi melintasi desa menuju pemakaman tempat kakek buyutku disemayamkan. Sesekali orang kampung menyapa Ibu, nampaknya masih banyak yang ingat Ibu.


"Kamu sudah tidak betah?" Ibu balik bertanya. Aku hanya diam.


"Dua minggu lagi kita pulang, kamu masih libur kan?" Putusnya.


Akan jadi liburan semesteran yang paling panjang dan membosankan juga membuat paling jantungan setiap saat siap siap dikejutkan suara nenek buyut.


"Kakek Masri tidak menikah bu?" Mengalihkan pembicaraan menanyakan tentang paman ibu ku itu.


"Menikah, punya anak malah" jawab Ibu tenang. Aku memandangnya minta penjelasan.


"Istri dan Anaknya diambil keluarganya setelah dihajar Nenek buyut habis habisan. Kakek Masri tidak berani melawan Nenek buyut."


"Awalnya Ibu tidak tau kenapa bibi selalu berdiam dikamar, kenapa ia menagis tak bersuara dalam gelap, kenapa tiap kali ada lebam ditubuh nya ia tak mau bicara. Sampai akhirnya Ibu lihat sendiri ia disiksa." Aku masih terdiam mendengar cerita Ibu.


"Waktu Ibu tanya kenapa Paman tidak melawan, ia hanya diam. Ternyata perlakuan yang sama juga diterima Nenekmu. Tapi Nenek bertahan dirumah itu karena ia sebatang kara. Lain dengan Bibi, yang begitu keluarganya tahu kelakuan nenek buyutmu langsung mengambilnya dan meyuruh menceraikan paman." Ibu menghela nafas, kami melewati kebun kopi, pemakaman masih jauh rupanya.


"Kata Nenek dulu sifat Nenek buyutmu tak begitu, Waktu suaminya masih hidup. Perangai buruknya keluar ketika kakek buyutmu meninggal. Pengikatnya hilang, darah hitamnya muncul lagi." Ibu melanjutkan ceritanya.


"Darah hitam?" Aku bingung.


"Menurut kepercayaan daerah kita, keluarga Nenek buyutmu dialiri darah hitam. Darah jahat yang menurun lewat keturunan perempuan. Semua rata rata punya perangai seperti Nenek buyutmu."


"Apa aku juga darah hitam bu?" Aku mulai takut.


"Itu kenapa dulu Ibu pergi, Ibu tidak percaya kalau jadi jahat itu keturunan, Ibu takut terpengaruh. Ibu hanya tau kalau setiap hari melihat kekerasan Ibu juga akan menjadi kasar. Kalau Ibu terbiasa melihat kebencian tentu Ibu juga akan jadi pembenci" 


"Tapi bagaimana kalau benar karena nenek moyang kita jahat maka kita juga akan jadi jahat bu?" Aku merengek.


"Sebelum tau cerita ini apa kamu pernah merasa jahat? senang melakukan hal hal yang buruk? tidak kan? Percaya sama Ibu. Ibu mau mengajakmu kesini karena Ibu merasa kamu sudah cukup besar untuk tau mana yang benar dan mana yang salah, bahwa kamu tidak akan mungkin terpengaruh"


"Tapi cerita Ibu dulu nenek buyut juga tidak begitu, lalu sifat jahatnya muncul lagi" 


"Kakek buyut itu orang yang sangat baik. Ia yang menanamkan kebaikan pada Nenek buyutmu. Kalau setelah Kakek buyutmu tiada ia kembali lagi kepada sifat aslinya."


Aku masih menimbang nimbang, jelas aku takut kalau sampai nanti kelakuanku seperti nenek buyut.


"Lagipula sepertinya sifat seperti itu sudah ditanamkan sejak kecil dalam keluarga Nenek buyutmu. Kita tidak seperti itu, kita bukan pembenci" Tegas ibu memandangiku sungguh sungguh

Bad Blood - 2 -

Kami menempati kamar Ibu yang lama.

"Sama sekali belum berubah" Kata Ibu sambil terus memandang sekeliling, sebentar sebentar tangannya sibuk mengelus elus barang barang dari masa lalunya.

"Dulu waktu mau nikah sama Ayah juga pulang ke desa?" Tanyaku penasaran. Setahuku Orang tuaku tidak pernah bercerita pergi ke desa ini berdua. Ibu menggeleng.

"Kenapa?" Tanyaku lagi

"Waktu itu Kakek Nenek yang datang ke Jakarta, cuma sekali itu mereka mau pergi keluar desa" Matanya menerawang ketika bicara. Mungkin mengingat ingat bahagia menikah dengan Ayah. Aku masih ingin bertanya tapi Ibu memaksaku tidur.

Esoknya aku bangun ketika matahari sudah tinggi. Ibu pasti bangun dari pagi pagi sekali. Cepat cepat aku bangun dan mencari Ibu.

Rumah yang besar itu terasa sepi, seperti tanpa penghuni. Setelah mencuci muka asal asalan aku mulai berkeliling. Di dapur tungku memasak dari kayu masih mengeluarkan asap meski sudah tidak dipergunakan untuk memasak. Teh dan pisang goreng ada dimeja makan, tapi tak ada kelebat seorang pun.

Rumah ini, meski pintu pintu dan jendela jendela dibuka lebar lebar tetap terasa menyeramkan. Pintu hitam besar itu juga terbuka. Kulongokkan kepalaku kedalam kamar. Besar, lemari lemari dan bangku yang mengisi kamar tampak sama tuanya dengan tempat tidur besar yang berkelambu itu. Bau nya seperti abad yang lalu meski tak kulihat debu dimanapun.

Pandanganku terpaku pada sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur. Sosok yang kudengar dengkurnya semalam. Dari tempatku berdiri bisa kulihat rambutnya yang putih panjang, kulitnya yang keriput juga terlihat putih pucat. Ketika aku hendak meneruskan mencari ibu sosok itu itu memanggilku.

"Kau, anaknya Dahlia!"  Kata suara parau itu memanggilku. Lebih mirip perintah.

"Saya Aida" Aku memperkenalkan diri sambil mendekat perlahan. Takut mahluk itu tiba tiba menerkamku. Saat itu aku merasa seperti si tudung merah menghadapi serigala jahat yang berpura pura menjadi neneknya.

"Tidak mirip Dahlia, mirip bapakmu?" Tanyanya galak.

"Orang bilang begitu" Jawabku mulai berani, tampaknya ia tak bisa bangun.

"Sudah sana keluar, bilang sama Nenekmu aku mau makan ikan gabus hari ini" Katanya mengusirku, wajahnya semakin terlihat galak.

Pantas kalau dia disebut si "Setan Tua", memang tingkahnya menyebalkan.

Begitu sampai di depan pintu aku melihat Ibu dan Kakek berjalan memasuki pekarangan.

"Kami baru melihat ladang di timur desa" Kata Kakek sambil tersenyum.

"Enak tidur mu? " Tanyanya sambil mengelus elus kepalaku. Aku mengangguk senang.

"Siapa perempuan dikamar itu?" Tanyaku pada Ibu setelah Kakek berlalu.

"Nenek buyut mu. Sudah ketemu?" Tanya Ibu

"Sudah" Jawabku

"Apa dia bilang?" Tanyanya penasaran, suara kami masih perlan seperti takut terdengar orang lain.

"Dia bilang aku tidak mirip Ibu, dia minta Nenek masak ikan gabus hari ini tapi aku belum bertemu Nenek" Bisikku.

"Tidak usah bilang Nenek sudah tau. Dia makan ikan Gabus setiap hari selasa dan kamis. Itu sejak Ibu masih kecil" terang Ibu.

"Tidak bisa bangun, sakit apa?" Tanyaku masih penasaran.

"Sudah terlalu tua, umurnya 100 tahun lebih" kata Ibu masih berbisik.

"Dia yang Ibu bilang Setan Tua? " Suaraku nyaris tak terdengar, Ibu mengangguk. Aku memandangnya bingung minta penjelasan lebih.

"Nanti kamu akan tahu sendiri kenapa" Ibu berteka teki

Bad Blood - 1 -

Suasana sudah gelap ketika kami akhirnya sampai dikampung ibu. Ibu ku dengan kantuk dimatanya berusaha mengingat ingat letak rumahnya dan memberi arahan pada supir taksi yang kami tumpangi dari bandara tadi pagi. Rumah yang sudah lama ia tinggalkan.


"Sebentar lagi sampai" Katanya sambil menunjuk nyala lampu kecil yang terlihat dikejauhan.    Jauh dari rumah rumah lain di desa yang bergerombol.


Ibu masih menggumamkan tentang bagaimana dulu desanya sangat terbelakang sekarang kemajuan dan perubahan terlihat dimana mana, kecuali mungkin dirumahnya.


Penerangan yang sangat minim membuat rumah yang mulai tampak itu terlihat menyeramkan. Rumah tempat ibu ku lahir.


Ibu tidak pernah menceritakan kenapa dulu ia pergi dari rumah. Sekarang aku takut sekali kalau kakek nenek ku menolak kedatanganku. Mereka belum pernah melihatku sama sekali.


"Tenang saja Kakek , Nenek, Paman Ibu semuanya orang baik" kata Ibu sambil tersenyum seolah membaca pikiranku. Tangannya menggandengku erat saat masuk pelataran rumah.


"Semoga setan tua itu sudah mati" Katanya lagi kali ini dengan ekspresi khawatir.


Rumah itu tinggal beberapa langkah lagi melihat wajah Ibu aku menjadi takut, seperti ada sesuatu di dalam rumah yang mengancam. Aku merapatkan badan ke tubuh Ibu.


Ibuku pergi dari rumah ini begitu ia tamat SMA, bertemu dangan ayahku di kota kabupaten lalu menikah dan pindah ke Jakarta. Tidak sekalipun kami pergi ke desa ini meski kami sering ke desa Ayah di utara. Kabar dari desa ini pun tak pernah kudengar. Kalau Nenek Kakek dari pihak Ayah sering datang berkunjung tidak demikian dengan pihak Ibu. Seolah Ibu terbuang.


Lalu satu persatu orang tua ayah meninggal, puncaknya Ayah meninggal dunia 5 tahun yang lalu, Ibu dilamar seorang teman Ayah baru baru ini. Itulah sebabnya Ibu memutuskan untuk pulang ke desanya demi meminta restu pada orang tuanya.


Wajah wajah tua dihadapanku tampak senang atas kedatangan kami. Meski hangat suasana mencekam masih juga terasa. Keempat orang tua itu ( Ibu, Nenek, Kakek, dan Paman Masri) berkali kali memandang pintu Hitam yang letaknya diseberang ruang tamu. Pandangan mereka tampak takut, suarapun di lirihkan seperti takut membangunkan si empunya kamar.


Kamar siapa sih sebenarnya itu? Kamar orang yang ibu sebut sebut "Setan Tua"? Siapa dia? Dari luar terdengar dengkur keras. Besok pagi aku pasti akan tau siapa penghuni kamar itu.

Jumat, 20 Juli 2012

lagi coret coret




Lagi suka gambar gambar *telat 

Laaah sekolah gambar tahunan itu buat apa? hehehehe walopun nggak lulus tapi ilmu nya dapet , makasih bapak bapak dan ibu ibu dosen *kecup pipi brad pitt hehehehe

Rabu, 18 Juli 2012

Ingin Lekas Padam

"Jangan diambil hati, kami kan hanya main main saja"


Haaah?!! hubungan serius yang sudah hampir dalam hitungan tahun mereka jalani itu ia anggap hanya main main saja? Mungkin otak nya rusak. Bukan, bukan otaknya yang rusak, tapi hatinya yang rusak. 


Mungkin akal sehatnya tidak lagi bisa mengenali mana yang cinta mana yang main main saja. 


"Seumur hidup aku belum pernah menangis karena sakitnya cinta"


Begitu ia mengucapkan kata itu, entah setan mana yang membisiki. Aku semakin bertekad untuk membuatnya merasakan tangis yang disebabkan cinta.  


Iya, aku memang dari awal tidak ingin membuatnya jatuh cinta. Aku hanya ingin ia menangis. Aku ingin ia menyesal, jatuh terkapar dalam derita cinta dan tak pernah bisa bangkit kembali. Karena ia telah membuat orang lain meneteskan air mata.


Tapi yang terjadi sekarang kebalikannya, aku semakin tak bisa lepas dari jerat yang kutebar sendiri. Semakin hari semakin erat. Ia juga membuatku menangis, betapa cinta rasanya sakit ketika tau ia bukanlah takdir.


Benar adanya bukan cinta namanya jika tidak menteskan air mata. Kasihan ia yang tak pernah menangis karena sakitnya cinta, ia belum sempat tau bagaimana rasanya 








Note: bleeeeh semakin bertekad bikin kamu nangis bung hahahaha... *tapi sepertinya kamu nggak suka perempuan :p






Tak pernah padam


Beberapa hari ini saya lagi kena racun radio dari Shinta, sahabat saya. Yang didengerin radio yang berbeda, hehehe ya iyalah kan Shinta di Jakarta saya di Jokja. Ini juga karena saya lagi diem diem PDKT sama penyiar radio (bukan diem diem lagi kalo gini ya?) hahaha tapi nggak pernah dengerin siarannya (wewwww...aneeeh)


Terus denger lagu ini...eeeh, jadi suka :)


Emir, temen saya nanya : Apanya yang nggak pernah padam yuneeeh? hehehe terus terang aja jawaban saya waktu itu sama sekali nggak kepikir soal Cinta. Laaaah orang kemarau begini.


Dalam pikiran saya, yang tak pernah padam itu (semoga) lampu kamar mandi. Setelah kemaren tinggal di kontrakan yang lampu kamar mandi nya konslet dan nggak nyala nyala 3 bulan lamanya, harapan terbesar saya ya itu jangan pernah padam :D 


Yang jadi beban pikiran saya adalah, gimana kalo ngepet api lilinnya nggak pernah padam
Naaah repot kan tuh, dia banyak duit tapi nggak bisa ngebelanjain soalnya bentuk nya kan babik. 


Kalo kata Shinta, bisa diangkat jadi karyawan tetap tuh, terus saya kepikiran wew dapet pensiun nggak ya? laaah tapi dapet pensiun juga nggak bisa dibelanjain kan hehehe.... paling mentok minum pun air keran ... hihihihi


Diakhir satu lagi yang terpikir, semoga pertemanan begini tak pernah padam :D

Senin, 16 Juli 2012

Rabu, 11 Juli 2012

Your Firefly By : Ben Cock

When the sun comes, you're my shade
When the moon comes, your're a little firefly
I love you more than I can say
No I'll never fly away

 Uuuhh uuuhh uuuhh uuuhh (x2)

 I'm your firefly, I'm your shade
I wanna live in a house that we've made
I wanna love you everyday
And I'll never fly away

 Uuuhh uuuhh uuuhh uuuhh (x2)



Note : I heard this song couple weeks ago at disney channel and just fell in love with it.

Senin, 09 Juli 2012

Nggak ngerti

Nggak ngerti saya, kenapa koq ada orang yang bikin cinta itu jadi masalah rumit. Nyari nyari yang lain padahal dia serius sama orang lain lagi. Cinta itu kan sederhana. Jalanin aja, terima si pasangan apa adanya, perbaiki diri sendiri kalo dirasa kurang. Kalo emang ngerasa gak cocok ya putusin. Susah amat heheheehe


Nanti dia bilang orang orang yang tersakiti itu lebay, drama, ribet... lah padahal kadang yang bikin ribet kan dia sendiri hehehehe. Ngapain coba cari cari penyakit. Kalo belom yakin, ya nggak usah lah nebar benih :D *bahasa gw lho anak pertanian banget hahahahaha


Anyway ini sih cuma mau ngingetin aja. Kalau ada hati yang tersakiti kadang kata ma'af nggak cukup buat nebus semua salah.

Minggu, 08 Juli 2012

Luka

Diciumi, ia diam. Membalaspun tidak


Seperti inikah kamu mencium yang kamu temui setiap hari diluar rumah? 


Saat dipeluk dari belakang terdengar suara pelan dan lembut "Aku kangen kamu"


Kamu kangen yang mana? ia yang tidak lagi mau kamu temui atau kamu sungguh kangen aku?


"Kamu seksi sekali bu sekarang", pelukannya penuh birahi


Terpikir untuk melakukannya dengan mu pun tidak. Mengibaskan tangan "Anak wedhok bangun pak" Anak adalah tempat terbaik untuk menghindar.


Ada apa denganku. Berkali kali kamu pulang biasanya aku bisa segera melupakan semua yang terjadi memaafkanmu, menerimamu kembali dalam pelukanku seperti kamu tidak pernah menyakiti hatiku. Tapi kali ini lain. Seperti ingin kamu cepat pergi lagi.


Biasanya asal kamu manis manis sedikit padaku pak, hatiku langsung luluh. Tapi kenapa kali ini tidak ya? kenapa yang biasanya sakit hatiku akan berganti sayang setengah mati ketika kamu mengaku salah dan minta maaf sekarang tak bisa lagi begitu.


Belum memaafkanmu ya aku? mungkin belum, mungkin aku masih terluka. Berkali kali kamu buat begini, berkali kali aku menangis, berkali kali pula aku menerimamu kembali. Tapi mungkin sekarang aku sudah kebas. 


Ketika perasaanku tidak lagi penting bagimu pak, buat apa pulang lagi, buat apa menjaga diri dari godaan yang lain. 


Maka aku memutuskan mematikan hatiku yang terkena racunmu pak, supaya ia tidak menyebar kemana mana. Biar setelah ini meski tidak ada lagi cinta tapi juga tidak ada tangis dan luka.












Note : My heart goes to you all the women in tears *apaseeeeeeh 















Sabtu, 07 Juli 2012

Candu 2

XX   : Beneran lho cuma kamu


XXX : Bohong ...kalo cuma aku terus anak istrimu dikemanain?


XX   : Dirumah... kan yang disini cuma kamu


XXX :Ya illleeee itu juga aku tau..aku juga pengen dinikahin


XX   : Dulu kamu nggak pernah minta nikah


XXX : Itu dulu, kalo sekarang aku mau nikah.


XX   : Yakin? 


XXX : Yakin banget


XX   : Walaupun kamu tau kita nggak mungkin direstui?


XXX : *mengangguk kuat kuat


XX   : Walaupun kita tak mungkin punya anak 


XXX : Kita kan bisa adopsi


XX   : Walaupun kita dicibir dan dikucilkan masyarakat karena aku dan kamu sama sama laki laki?


XXX : Walaupun kita dibunuh atau dipenjara









Note : kadang candu asmara juga begini :D


something itu sesuatu



Jauh sudah lewat tengah malam, mataku tak juga mau terpejam. Selamat tinggal malam, selamat datang mentari yang masih temaram. Mengingatmu aku remuk redam, sungguh kau begitu kejam. 


Betapa sembilu yang kau buat untuk menggoreskan luka begitu tajam, selalu aku merasa sakit yang lebih dari sekedar demam. Tapi cintaku padamu tak kunjung mau padam.


Jangan hanya diam karena akan membuatku semakin naik pitam. 



Minggu, 01 Juli 2012

Shinta

Shinta adalah sahabat baru yang seharusnya saya kenal sudah lama... eh, koq bisa? Iya, Shinta dan saya selama 3 tahun bersekolah ditempat yang sama. Saya as a school girl adalah anak perempuan yang minderan. Bukan orang yang mudah menyapa orang lain seperti sekarang tanpa alasan khusus atau merasa perlu.

Selalu saya hanya memandangi teman teman yang saya anggap ngetop itu tanpa berani menyapa, termasuk Shinta yang waktu itu saya masih ingat pakai tas yang berwarna hitam dan ungu bercanda dengan teman temannya di halaman sekolah.

Lalu mulailah ada grup untuk para alumni, nggak terasa ternyata Shinta adalah pribadi yang menyenangkan dan ramai. Kekuatiran saya hilang ketika akhirnya saya memulai untuk menge chat Shinta, sekedar menanyakan apakah ia ingin membeli gelas souvenir yang kebetulan saya punya sisa banyak.

Diluar dugaan, ternyata chat kami berkembang. Semakin lama terasa semakin dekat. Ia tempat teraman saya menyimpan rahasia, teman yang baik saya butuh dukungan, sumber inspirasi yang selalu memberi bahan baru :D satu lagi seseorang yang juga penyemangat saya.

Saya berharap persahabatan ini, sama seperti persahabatan saya dengan sahabat sahabat saya yang lain. Bertahan melewati segala rintangan dan selalu rukun :D