Selasa, 20 Maret 2012

Dahlia -bag 1-


Akhirnya ia pulang juga, buaya tua yang selalu tampak necis itu duduk santai di depan TV diruang keluarga sambil merokok dengan santainya... muak, bahkan bau asap rokok tidak bisa mengalahkan aroma parfum yang kuat dari pakaiannya. Perempuan yang mana .... istri mudanya yang mana.... yang pakai parfum setajam itu.

"Dari mana nyonya?" tanya nya ramah pada ku, matanya tak lepas jua dari koran yang ada ditangannya. 
"Dari pasar ...tuan sudah lama?" tanyaku sekenanya. Hanya basa basi....

Dulu sekali saat Kenanga, Samboja dan Yashinta belum lahir laki laki ini amat kupuja, panggilan "Tuan" adalah panggilan hormatku pada laki laki yang kunikahi ini. Laki laki yang membuatku percaya bahwa ia lebih baik dari laki laki manapun yang datang padaku. 

Astaka yang dulu, 35 tahun yang lalu pemuda yang baru saja lulus kuliah, mulai berbisnis dan penuh semangat. Tidak pernah sekalipun binar dimata nya hilang karena rasa susah atau sedih.

Aku rupanya salah menilai, setelah menikah tak jarang kujumpai posisi dimana ia seperti anak usia belasan tahun. Melamun, gembira berlebihan hanya karena sesuatu yang ia lamunkan atau kadang tampak marah dan beringas.

Setelah anak anak satu persatu lahir mulai ia jarang pulang, rasa marah menggiringku untuk menyelidiki kemana ia sebenarnya. Awalnya aku stress saat tau ia punya "simpanan". Murka malah... tapi setelah kupikir pikir ulang, mungkin ada salah ku juga sampai ia berbuat begitu.

Tahun berganti, aku selalu tau siapa saja yang ia nikahi, yang mana hanya sebatas pacar sampai mana yang ia incar berikutnya. Hanya sebatas tau tanpa konfrontasi ... di rumah ini tidak akan pernah ada pertengkaran.

Saat ia agak lama tinggal dirumah itu artinya ia baru saja putus dari salah satu perempuannya. Matanya akan tampak sedih, wajahnya pun tampak memelas... ia akan minta disayang sayang. Iya, saya lebih seperti ibunya daripada istrinya.



Bag 2

Makan malam tanpa suara, pandangan menyelidik Kenanga ,mulut cemberut Yashinta, seandainya Sam masih disini apa bagaimana ekspresinya saat melihat ayah yang sangat ia kagumi dibenci saudara saudaranya... 

Sam-ku meninggal saat ia belum lagi genap 13 tahun. Anak laki laki ceria yang senyumnya sampai jauh melebar. Tuhan terlalu sayang sampai ia tidak pernah membuat Samboja tau begaimana kelakuan ayahnya. Mungkin benar Tuhan menciptakan wanita lebih kuat dari laki laki. Dua anak perempuanku semua kuat, tangguh malah cenderung pemberontak.

Nang dan Shinta tumbuh besar dalam kelemahanku, ketika aku merasa tidak berdaya atas kelakuan Astaka, saat aku terluka dan merasa putus asa ditambah kepergian Sam yang terlalu cepat. Aku tidak pernah cukup "menata" mereka saat aku akhirnya bangkit dan berusaha "merapikan" keluarga ini... Nang dan Shinta sudah punya "tatanan" sendiri.

Nang hamil diusia 16 tahun, tidak pernah menikah meskipun berkali kali ganti pacar. Shinta dilain pihak sama sekali tidak pernah terdengar berhubungan dengan lelaki manapun, selalu terlihat menyendiri dan murung.

Hanya Gambir, cucuku yang menjadi penghiburanku kini. Gambir, yang tidak pernah diperhatikan oleh Nang, yang dianggap barang mainan saat ia masih kecil adalah cahaya hidupku.


Terhenti pikiran masing masing saat suara serak Astaka mengumandang "Mana Gambir?"  senyap tiada yang bisa menjawab.

Iya... dimana anak itu ya?

*bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar